BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pendidikan adalah sebuah proses yang tidak pernah berujung, artinya tidak ada akhir dan tidak akan selesai. Praktek-praktek pendidikan pun terus berkembang seiring berjalannya zaman seperti yang terjadi pada masa-masa dewasa ini.
Filsafat dianggap sebagai father of science dan hampir seluruh umat manusia di dunia ini setuju dengannya. Karena filsafat pula banyak aliran-aliran filsafat pendidikan hadir di antara kita untuk dijadikan acuan atau bahan sebagai cerminan dalam proses belajar-mengajar. Namun, dalam proses tersebut kadang kala ditemukannya kekurangan-kekurangan yang membutuhkan revisi pada bagian-bagian tertentu, maka di sana pula hadir aliran rekonstruksionisme yang melakukan perubahan-perubahan yang menurutnya kurang efisien untuk kebutuhan manusia saat ini.
Kemudian mengenai revisi-revisi yang dipandang penting dalam aliran rekonstruksionisme tentu dipandang dengan cara yang berbeda-beda pula oleh aliran lainnya. Lalu, apa yang dikatakan filsafat pendidikan islam mengenai aliran rekonstruksionisme? Apakah mendukung atau sebaliknya? Maka perlu bagi kita untuk mencari tahu kebenarannya yang akan dibahas dalam makalah singkat ini.
1.2.Rumusan Masalah
Dalam makalah ini pemakalah akan membahas tentang:
1.Latar Belakang dan Pengertian Aliran Rekonstruksionisme
2.Latar Belakang dan Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
3.Perspektif Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Aliran Rekonstruksionisme dalam Aplikasi Pendidikan
1.3.Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memahami perspektif filsafat pendidikan Islam terhadap aliran rekonstruksionisme mengenai implementasinya dalam pendidikan.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Aliran Rekonstruksionisme dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
2.1.Latar Belakang dan Pengertian Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris reconstruct yang berarti menyusun kembali. Aliran rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari aliran progresivisme yang dipelopori oleh John Dewey (1859-1952). Gerakan rekonstruksionisme ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini. Maka dari itu aliran rekonstruksionisme memandang pendidikan sebagai reconstruct of experiences (pembangunan kembali pengalaman-pengalaman) yang berlangsung secara terus-menerus dalam hidup.
Pada dasarnya aliran rekonstruksionisme sepaham dengan aliran perenialisme bahwa ada kebutuhan alam yang mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang (hendak menyatakan krisis kebudayaan modern), yang sekarang mengalami ketakutan, kebimbangan dan kebingungan. Tetapi aliran rekonstruksionisme tidak sependapat dengan cara dan jalan pemecahan yang ditempuh filsafat perenialisme. Aliran perenialisme lebih memilih jalan kembali ke alam kebudayaan abad pertengahan. Sementara itu aliran rekonstruksionisme berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya, maka melalui lembagai dan proses pendidikan.
Aliran rekonstruksionisme juga memiliki akar-akar filsafat eksistensialisme namun terutama berlandaskan pada pemikiran aliran progresif. Persamaan antara dua aliran filsafat ini adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat relatif dan semua manusia mengelola dunia ini untuk memahaminya dan mengubahnya. Aliran rekonstruksionisme menginginkan transformasi kultur yang ada berdasarkan analisis terhadap ketidakadilan dan kesalahan-kesalahan mendasar dalam praktik-praktik pendidikan selama ini. Mereka kritis terhadap masyarakat kontemporer dan dianggap sebagai penggiat sosial yang peduli terhadap isu-isu nasional dan internasional.
Bila tujuan pendidikan untuk menyiapkan anak didik sebagai pengubah dunia, maka sekolah harus membekali siswa dengan alat untuk melakukan perubahan, yakni demi transformasi dunia ini lewat rekonstruksi sosial. Guru dengan demikian memiliki peran penting dalam mengubah kebudayaan. Tokoh-tokoh besar aliran ini antara lain George Counts (1889-1974), Harold Rugg (1886-1960), Theodore Brameld (1904-1987), Ivan Illich (1926-2002), dan Paulo Freire (1921-1997).
Dalam bukunya Education for the Emerging Age (1950) Brameld menyarankan bahwa tujuan pendidikan bukan untuk memperoleh kredit atau sekedar pengetahuan, tetapi memberi manusia apapun rasanya, kepercayaannya, dan kehidupan yang lebih memuaskan dirinya dan masyarakatnya. Pengetahuan, pelatihan dan keterampilan adalah alat untuk mencapai tujuan ini, yakni realisasi diri.
Illich dalam bukunya Deschooling Society (1970) mempertanyakan apakah dunia ini rela membiarkan mayoritas penduduk tidak sekolah, membiarkan drop out anak-anak dari golongan kelas bawah. Konstribusi aliran ini bukan untuk menghapus sekolah, tetapi untuk melonggarkan pelembagaan (deinstituionalize) pengalaman pendidikan di sekolah, agar siswa mampu mentransformasi kultur yang ada. Illich melihat keterkaitan bahasa dengan kekuasaan. Dengan menguasai bahasa sampai tingkat literasi tinggi seseorang dapat menggapai kekuasaan dan mampu mentransformasi kebudayaan. Dalam Pedagogy of the Oppressed (1995), Illich menekankan pentingnya kemampuan manusia untuk mengidentifikasi dan mempertanyakan asumsi-asumsi ihwal hakikat dunia lewat dialog dan diskusi.
Dapat disimpulkan dari penjelasan latar belakang aliran rekonstruksionisme di atas bahwa dalam konteks filsafat pendidikan pengertian aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
2.2.Latar Belakang dan Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Islam adalah agama penyempurna agama sebelumnya, dimana agama-agama terdahulu masih terdapat kekurangan Islam datang menyempurnakannya. Sumber ajaran dalam agama Islam adalah kitab Al-quran dan Hadits. Di dalam Al-quran dan Hadits terdapat semua yang dibutuhkan manusia, dari manusia itu lahir sampai manusia itu mati, dari bangun tidur sampai tidur kembali, Al-quran dan Hadits menjelaskan semuanya dengan detil. Begitu pula dengan pendidikan, filsafat pendidikan Islam juga bersumber dari Al-quran dan Hadits.
Sebagai sumber ajaran, Al-quran sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Demikian pula dengan Hadits, sebagai sumber ajaran Islam, diakui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long life education). Dari uraian di atas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada Al-quran dan Hadits sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh Al-quran ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Firman Allah:
“Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al Qur’an itu cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar” ( QS. Asy-Syura : 52 )
Dan Hadis dari Nabi SAW :
“Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia.” (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)
Filsafat pendidikan Islam pertama sekali menjabarkan hakikat manusia kemudian hakikat pendidikan, bagaimana manusia begitu membutuhkan pendidikan dan pendidikan ada dan tersedia bagi manusia. Karena filsafat pendidikan Islam hadir karena globlalisasi nilai-nilai. Filsafat pendidikan Islam ingin nilai-nilai itu diperkuat dan tidak terbawa arus globalisasi. Arus global ini dibawa oleh budaya barat, yang secara turun temurun dipengaruhi oleh beberapa generasi sebelumnya seperti skema di bawah ini:
Rasionalisme > Cartesian dan Newtonian > Paradigma Sains > Kebudayaan Barat > Kehancuran (Kontradiksi, kacau)
Dari skema di atas, dapat dilihat kekeliruan dalam pembangunan kebudayaan barat yang diungkapkan oleh Capra dan juga Nietzsche. Menurut Capra, ia menjelaskan dalam bukunya bahwa budaya barat sekarang sudah hancur. Kehancuran itu ditandai dengan banyaknya kontradiksi atau kekacauan. Nietzche, pada akhir abad 19 juga telah mengingatkan bahwa budaya barat di ambang kehancuran, dan di akhir abad 20 ramalan itu menjadi kenyataan.
Nah, pada dasarnya paradigma yang seharusnya dibangun oleh budaya barat adalah paradigma yang didasari ajaran agama. Seperti Islam contohnya, yang mengandung ajaran yang mampu melihat alam semesta secara menyeluruh sebagai suatu sistem, dalam kenyataannya Islam itu telah mampu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi yang seperti diperlihatkan oleh Negara Madinah pada masa Muhammad SAW, Abu Bakar dan Umar.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah filsafat pendidikan dengan corak islami. Secara pendidikan Islam manusia perlu dibantu untuk menjadi manusia. Karena pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Dalam upayanya memanusiakan manusia, proses ini merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Mengapa seumur hidup? Karena berdasarkan hakikat pendidikan itu sendiri bahwasanya pendidikan adalah bantuan atau pertolongan untuk manusia menjadi manusia yang mampu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi.
Menurut pendapat Imam Al-Ghazali pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Ilmu dapat dilihat dari 2 segi ilmu yaitu :
- Ilmu sebagai proses
Imam Al-Ghazali membagi ilmu menjadi 3 yaitu:
1) Ilmu Hissiyah diperoleh manusia melalui pengindraan atau alat indra
2) Ilmu Aqliyah diperoleh melalui kegiatan berfikir atau akal
3) Ilmu Ladunni diperoleh langsung dari Allah, tanpa melalui proses penginderaan atau pemikiran melainkan melalui hati dalam bentuk ilham
- Ilmu sebagai objek
Menurut pandangan Imam Al-Ghazali ilmu dikataan sebagai objek dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak baik sedikit maupun banyak. Ilmu ini tercela karena tidak memiliki nilai manfaat, baik di dunia maupun akhirat. Contohnya, ilmu sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib.
2. Ilmu pengetahuan yang terpuji baik sedikit maupun banyak. Ilmu pengetahuan ini terpuji secara mutlak dapat melepaskan manusia atau yang mempelajarinya dari perbuatan tercela, menyucikan diri, membantu manusia mengetahui kebaikan dan mengerjakannya, memberitahu manusia kejalan dan usaha mendekatkan diri kepada Allah dalam mencari ridhaNya guna mempersiapkan dunia untuk kehidupan akhiat yang kekal.
Contoh: ilmu agama dan ilmu tentang beribadah.
3. Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi jika memperdalaminya tercela. Menurut imam Al-ghazali ilmu tersebut jika diperdalam menimbulkan kekacauan pikiran dan keraguan yang akhirnya cenderung mendorong manusia kufur dan ingkar.
Contonya: ilmu ketuhanan dan cabang ilmu filsafat
Kriteria suatu ilmu pengetahuan sebagai objek dapat digolongkan sebagai ilmu yang tercela apabila ada indikasi:
- Mendatangkan bahaya bagi pemiliknya dan bagi orang lain
- Mendatangkan bahaya bagi pemiliknya
- Tidak memberi manfaat bagi pemiliknya
Jadi menurut pandangan Imam Al-Ghazali setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari harus dikaitkan dengan nilai moral dan nilai manfaat. Dari segi nilai manfaat bagi setiap diri seorang muslim Al-Ghazali membagai ilmu pengetahuan menjadi 2 kelompok:
- Ilmu yang wajib (fardhu ‘ain) wajib dipelajari setiap individu. Contonya seperti ilmu agama, ilmu yang bersumber pada kitab Allah.
- Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan duniawi seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian, ilmu politik dan jahit menjahit.
2.3.Perspektif Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Aliran Rekonstruksionisme dalam Aplikasi Pendidikan
Seperti yang telah kita ketahui bahwa filsafat rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha merombak tatsa susunan lama untuk membangun tata susunan baru yang lebih modern. Sedangkan filsafat pendidikan Islam merupakan filsafat dengan corak islami yang berusaha menciptakan masyarakat yang berbudaya tinggi. Dari kedua pengertian aliran ini terdapat perbedaan, dalam rekonstruksionisme ada upaya untuk merombak atau mengubah tata susunan sedangkan filsafat pendidikan Islam justru mengupayakan membangun manusia itu sendiri berdasarkan panduan secara islami.
Kemudian perbedaan lain, filsafat rekonstruksionisme menginginkan transformasi secara kultural, namun filsafat pendidikan Islam justru mempertahankan budaya-budaya islaminya. Pada aliran rekonstruksionisme juga, pendidikan merupakan usaha membangun pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi, namun pada filsafat pendidikan Islam pendidikan dikembalikan kepada seperti apa manusia itu menginginkannya atau berdasarkan kebutuhan manusia itu sendiri, maksudnya adalah tidak memaksakan dengan satu metode.
Untuk kejelasan mengenai pandangan filsafat pendidikan Islam dengan filsafat aliran rekonstruksionisme, akan dibahas implementasinya dalam pendidikan.
2.3.1. Tujuan Pendidikan
Pada aliran rekonstruksionisme tujuan pendidikan adalah sebagai berikut:
1) Sekolah-sekolah rekonstruksionis berfungsi sebagai lembaga utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat.
2) Tugas sekolah-sekolah rekonstruksionis adalah mengembangkan ‘insinyur-insinyur’ sosial, warga-warga negara yang mempunyai tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat masa kini.
3) Tujuan pendidikan rekonstruksionis adalah membangkitkan kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global, dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
Kemudian kita lihat apa pandangan filsafat pendidikan Islam mengenai tujuan pendidikan; “Untuk menghasilkan manusia terbaik atau insan kamil dengan ciri mampu hidup tenang dan produktif” (Ahmad Tafsir, 2010). Terdapat persamaan dan juga perbedaan, namun semua tujuan pendidikan itu baik dan sama-sama ingin menghasilkan output yang bagus.
2.3.2. Pendidik
Pada aliran rekonstruksionisme posisi pendidik harus membuat para peserta didik menyadari masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, mambantu mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut sehingga mereka merasa terikat untuk memecahkannya. Guru harus terampil dalam membantu peserta didik menghadapi kontroversi dan perubahan. Guru harus menumbuhkan berpikir berbeda-beda sebaga suatu cara untuk menciptakan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang menjanjikan keberhasilannya.
Sedangkan pada filsafat pendidikan Islam posisi pendidik sebagai father of spiritual (Bapak spiritual) yang bertanggung jawab, di lingkungan pertama pendidik bagi anak-anak adalah orang tua, kemudian di lingkungan kedua adalah guru. Para pendidik filsafat pendidikan islam sangat bertanggug jawab pada siswa-siswanya, karena para pendidik filsafat pendidikan Islam menganggap siswa-siswanya seperti anaknya sendiri.
Filsafat pendidikan islam memandang pendidik dalam aliran rekonstruksionisme bukan orang yang punya kedekatan secara emosional dengan peserta didiknya. Karena menurut filsafat pendidikan Islam pendidik haruslah memiliki kedekatan secara emosional dengan para peserta didiknya untuk mempermudah proses belajar-mengajar.
2.3.3. Peserta Didik
Rekonstruksionisme memandang peserta didik sebagai generasi muda yang sedang tumbuh menjadi manusia pembangun masyarakat masa depan dan perlu berlatih keras untuk menjadi insinyur-insinyur sosial yang diperlukan untuk membangun masyarakat masa depan.
Sedangkan filsafat pendidikan Islam memandang peserta didik sebagai subjek dan objek dan orang yang sedang tumbuh dewasa dalam proses pembelajaran.
Anak yang sedang tumbuh harus mendapat bimbingan berdasarkan petunjuk Al-quran dan Hadits, anak dalam fase ini masih belajar untuk beribadah kepada Allah SWT untuk mempersiapkan diri membangun masyarakat. Mambangun masyarakat bukanlah hal yang mudah. Persiapan untuk itu membutuhkan mental yang besar dan kuat pada anak, untuk itu perlu berlandas pada Al-quran dan Hadis atau setidaknya pada agama yang dilupakan oleh aliran rekonstruksionisme.
2.3.4. Kurikulum
Aliran rekonstruksionisme mengisi kurikulum dengan mata-mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa depan.
Kurikulum banyak berisi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusia, yang termasuk di dalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik sendiri; dan program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif. Struktur organisasi kurikulum terbentuk dari cabang-cabang ilmu sosial dan proses-proses penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, sumber ajaran dalam filsafat pendidikan Islam adalah Al-quran dan Hadits. Maka kurikulum pun disesuaikan dengan kebutuhan manusia berdasarkan Al-quran dan hadits.
2.3.5. Metode Pembelajaran
Seperti namanya, rekonstruksionisme menganalisis secara kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan programatik untuk perbaikan. Dengan demikian menggunakan metode pemecahan masalah, analisis kebutuhan, dan penyusunan program aksi perbaikan masyarakat.
Sedangkan filsafat pendidikan Islam biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut sebagai metode :
- Pertama, bahan-bahan yang akan digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu Al-quran dan Hadits yang disertai pendapat para ulama serta para filosof dan lainnya ; dan bahan yang akan di ambil dari pengalaman empirik dalam praktek kependidikan.
- Kedua, metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun demikian, khusus dalam menggunakan Al-quran dan Hadits dapat digunakan jasa Ensiklopedi al Qur’an semacam Mu’jam al Mufahras li Alfazh al Qur’an al Karimkarangan Muhammad Fuad Abd Baqi dan Mu’jam al muhfars li Alfazh al Hadist karangan Weinsink.
- Ketiga, metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif, dedukatif, dan analisa ilmiah.
- Keempat, pendekatan. Dalam hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus pula dijelaskan pendekatan yang akan digunakan untuk membahas tersebut. Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Kedua aliran ini memiliki persamaan dan perbedaan meskipun banyak perbedaannya. Namun, pendidikan sama-sama memiliki tujuan yang baik, hanya berbeda pada teori-teorinya saja. Tidak terbatas pada teori, aplikasinya pun juga harus dimaksimalkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal
Adapun pandangan-pandangan filsafat pendidikan Islam terhadap aliran rekonstruksionisme, sesungguhnya tidak ada yang harus dirombak jika kita berlandaskan pada ajaran agama dan kembali kepada agama. Agama telah memenuhi standar hidup bagi umat jika umat (manusia) mau mempelajarinya. Pendidikan dan agama haruslah seimbang, namun dalam aliran rekonstruksionisme kurang memperhatikan hal tersebut sehingga perombakan-perombakannya cenderung kurang rasional.
Terlepas dari itu semua, kedua aliran ini baik adanya namun tergantung pada yang menganut dan mengaplikasikannya. Wallahualam bisshawab.
3.2.Saran
Perbandingan kedua aliran ini masih membutuhkan perbaikan di sana-sini. Diharapkan kepada pembaca untuk dapat membaca lebih banyak referensi. Semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: Remaja Rosdakarya
Amri, Amsal. (2009). Studi Filsafat Pendidikan. Banda Aceh: PeNa.
HW, Teguh Wangsa Gandhi. (2011). Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
1 komentar:
bagus
Posting Komentar