Hampir tiga tahun hidup di rantau orang masih seperti main-main saja rasanya. Jiwa untuk live your life itu belum begitu terasa menggebu-gebu. Karena masih bisa hidup, ya dari duit orangtua yang dikirim untuk dihabiskan tiap bulannya. Hidup disini enak, digaji tanpa bekerja malah disuruh tuntut ilmu lagi yang untungnya jadi dua kali lipat, berganda. Agak boros sepertinya jika hidup 'semulus paha personel Cherrybell' ini menjadi keluh-kesah di sebagian besar waktu yang kita habiskan. Betul?
Lah, saya kali kesekian merasa hidup ini penuh dengan kegalauan yang tak ada habisnya yang tak ada ujungnya yang lagi-lagi gagal mengurai benang kusut kehidupan. Sekarang merasa diri boros, buang-buang tenaga untuk mengurai 'benang kusut' yang entah apa. Sekilo dua kilo beban saja sudah mengeluh patah tulang. Istilah kami disini bilangnya 'mengkek'. Padahal jika waktu itu dipakai untuk menyelesaikan tugas sudah barang tentu berguna.
Umumnya mahasiswa ya, senangnya libur kuliah itu satu semester 6 bulan terus kalau bisa 2 kali dalam setahun merasa kalau hari-hari perkuliahan itu mulai hambar tak berasa. Dari senin ke senin lagi itu seperti mengulang 2 senin yang sama namun jelas berbeda *Apa sih?*. Maka dapat disimpulkan mahasiswa itu suka terjebak dalam stupid mood masing-masing (atau ini saya saja ya?).
Atau beginilah ya, kata dosen saya tidak ada orang yang tidak bermasalah di dunia ini. Jadi, masalah itu wajar ada di hidup seseorang hanya saja kemauan seseorang untuk menyelesaikan masalah itu, mau atau tidak? Jika orang tersebut nyaman dengan permasalahannya, orang tersebut terindikasi sakit jiwa (kena lagi?).
Masalah itu lagi-lagi beragam bentuknya, ada masalah ekonomi, masalah keluarga, masalah percintaan, masalah pertemanan, masalah sosial, dan masalah-masalah Anda masing-masing (intinya saya tau Anda punya masalah kan?). Kemampuan manajemen diri seseorang itu mempengaruhi perilaku bermasalahnya dan cara seseorang menghadapi masalah itu sendiri. Saya tidak bilang panjang lebar sekali kok karena saya sendiri juga masih susah belajar untuk memanajemen diri :'). Klise ya?
Terkadang sadar masih seperti anak-anak kalau lagi ada masalah, bukannya menghadapi tapi menghindari. Bukannya sigap malah silap (berapa kali silap? 3 kali). Sangat tidak profesional pokoknya, untuk ukuran mahasiswa FKIP BK (kata teman saya Bimbingan Kangen, hehe) harusnya sudah bisa mengontrol emosi diri. Apalagi seorang mahasiswa yang sedang menjelang semester-semester akhir. Klise (lagi) ya?
Abstraksi seseorang terhadap masalahnya itu terkadang berlebihan, lebay. Mereka (termasuk saya) tidak mau jujur dan cenderung sangat subjektif menilai permasalahan diri. Makanya banyak dari kita justru mencari pembenaran daripada betul-betul memikirkan jalan keluar masalah itu sendiri. Kita takut menyakiti diri kita sendiri walaupun kita dalam posisi yang salah, dalam posisi yang pantas untuk disakiti, dihina, dikritik, kita tidak peduli pada itu. Kita hanya peduli pada apa yang benar menurut perspektif kita (pengalaman pribadi banget ya?).
Lalu, untuk membicarakan masalah saja kita enggan. 'Takut tidak ada yang mendengar' begitu alasannya. Padahal tergambar sudah 'Nanti tidak ada yang membenarkan saya'. Coba? Kedua pernyataan itu berbeda jauh man! Think again!
Klise memang, ga perlu memungkiri. Nyari sibuk aja!
Jadi, saya rasa kita semua punya cermin di rumah dan karena tingkat narsisme manusia sekarang itu meningkat drastis saya rasa (lagi) tidak ada dari kita yang tidak berkaca dalam sehari, karena sehari saja kita bisa berkaca berkali-kali. Nah, kata dosen saya pergunakan itu untuk evaluasi diri, instropeksi. Lihat fisik Anda, tanyakan apa yang menjadikan rupa fisik Anda demikian sekarang? Mengapa Anda memilih rupa yang demikian? Bagaimana rupa itu mempengaruhi kehidupan Anda dari yang dulu sampai hari ini? Siapa yang Anda lihat di cermin itu? Diri Anda atau bisa jadi orang lain? Klise kan? Klise!
Berbagi hal seperti ini kadang bagi sebagian orang tidak penting. Tapi, kata dosen saya lagi nih..Jika itu bisa membuat perubahan, bisa mengembangkan potensi diri tidak masalah, tidak ada yang salah. So, why don't we try? I know life is uneasy, every single effort counts, kok. Ada pengaruhnya.
Dengan begini pun sudah menjadi salah satu terapi yang saya rasakan manfaatnya. Ketika kita tidak sanggup mengungkapkan sesuatu melalui lisan kenapa tidak mengungkapkannya dengan tulisan? Kelegaan itu datang ketika sudah diungkapkan kan? So, saya sudah lega sekarang melepas hal-hal klise ini ke udara, haha..
Enjoy!
Mashitha
Calon sarjana sukses, rencana S2 kemana suka.